Senin, 02 Maret 2009

Insiden Qabil-Habil dan Bani Israil

Jum’at itu tidak jauh berbeda dengan hari Jum’at setiap pekannya, jalan masuk menuju masjid Al-Azhar dipenuhi oleh rentetan mobil state security yang mengangkut puluhan polisi. Dulu saya tidak paham kenapa polisi dalam jumlah besar itu dikerahkan setiap Jum’atnya hanya untuk menjaga shalat Jum’at di masjid Al-Azhar, namun belakangan hari saya ketahui bahwa seusai shalat biasanya terdapat beberapa kelompok dari jamaah yang “berdemo” mengobarkan gelora jihad di beranda tengah masjid, mengajak seluruh umat Islam untuk bersatu melawan musuh Islam, kembali kepada ajaran Islam, dan menolak segala bentuk kelaliman pemerintah.

Oleh karena itu keamanan perlu dijaga agar tidak terjadi ‘keributan’ massal. tapi anehnya, jumlah polisi selalu lebih banyak dibanding jumlah demonstran, sehingga mustahil para demonstran dapat keluar dari masjid karena seluruh pintu keluar telah dikepung. Selain itu saya juga baru sadar, ternyata pemerintahan Hosni Mubarak tak jauh beda dengan pemerintahan Pak Harto dimana kebebasan bersuara begitu terkekang. Media pers, demonstrasi hingga khutbah Jum’at semuanya di bawah kendali kediktatorannya, tiada satupun yang boleh lancang mengkritisi ‘kebijakan’ pemerintah.

Jum’at itu pula, imam dan khatib masjid Al-Azhar Syaikh Shalahuddin Mahmud Nashar dalam khutbahnya mengangkat masalah entitas Islam sebagai risalah yang bukan hanya sekedar berbentuk perintah ibadah kepada Sang Pencipta, namun juga kedudukan Islam sebagai agama dengan tatanan sosial yang sangat menghargai dan menjaga tali horizontal sesama makhluk, lalu syaikh Nashar menerangkan tentang tujuan dan landasan utama syari’at Islam (maqashid syari’ah) yang melindungi dan menjaga konsep agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta (kulliyyat al-khams).

Ia lalu memfokuskan khutbahnya dalam membahas kemuliaan nyawa seseorang dan betapa darah seorang manusia itu haram ditumpahkan, tidak ada seorang manusia pun boleh membunuh bahkan mencederai orang lain, tidak dihalalkan jiwa manusia untuk dibunuh baik muslim maupun kafir ahlu dzimmah kecuali dalam qishas, hudud dan peperangan dengan segala aturan berikut syaratnya. Bahkan manusia tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri karena tubuhnya adalah amanat dari Yang Maha Kuasa dan bukan miliknya, bagaimana mungkin seseorang yang tidak dapat menciptakan lalat atau nyamuk sebagai serangga terkecil diperkenankan baginya untuk membunuh jiwa yang sempurna?

Membunuh manusia merupakan dosa terbesar setelah syirik, bahkan membunuh binatang juga perbuatan yang tidak dibenarkan jika tanpa sebab, hingga dalam menyembelih binatang kurban atau binatang buruan semuanya memiliki adab yang telah diatur secara rinci dalam Islam. Sejarah mencatat bahwa pembunuhan telah terjadi semenjak masa nabi Adam ‘alaihissalam.

Putra pertamanya Qabil membunuh saudaranya Habil lantaran rasa dengkinya karena tidak diperkenankan menikahi Wadhiah saudari sekandung Qabil, akan tetapi ia diperitahkan untuk menikahi saudari Habil yaitu Damimah. Selain itu kurban yang diberikan Qabil kepada Allah tidak diterima sedangkan kurban Habil diterima, dengan demikian maka Habil-lah yang berhak menikahi Wadhiah, lalu kesumat Qabil pun tak terbendung lagi hingga ia membunuh Habil agar ia tidak dapat menikahi Wadiah. (al-Maidah: 27-30). oleh karena itu jarimatu-l-qatl (pembunuhan) dengan tanpa sebab syar’i telah diharamkan semenjak pertama kali manusia hidup di bumi, berbeda dengan pengharaman arak (khamr), riba, homoseks, mencuri serta dosa-dosa besar lainnya.

Dikarenakan insiden Qabil-Habil itu pula Allah menurunkan di dalam Taurat larangan dan peringatan yang keras kepada Bani Israil perihal membunuh jiwa manusia dengan sewenang-wenang, Allah menegaskan bahwa membunuh satu orang saja dengan tanpa sebab maka ia telah membunuh seluruh manusia (al-Maidah: 32). Bisa dibayangkan betapa biadabnya Bani Israil itu, sudah diketahui bahwa membunuh telah diharamkan semenjak masa nabi Adam namun pengharaman itu hanya dalam bentuk verbal, hingga akhirnya Allah ‘harus’ mengharamkannya dalam bentuk nash (teks tertulis) dalam Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa ‘alaihissalam.

Tentu saja hal tersebut bukan tiada makna, akan tetapi ini menunjukkan bahwa Bani Israil memiliki tabiat sebagai kaum ‘kanibal’ yang paling suka membunuh dan menyebabkan kerusakan di atas muka bumi, paling gemar meminum darah dan memakan daging manusia, oleh karena itu perintah verbal saja tidak cukup.

Kerasnya hati Bani Israil juga yang ‘mengharuskan’ Allah untuk mengutus rasul begitu banyaknya kepada mereka, bahkan tiada umat yang lebih banyak diutus rasul kepada mereka melebihi Bani Israil, hingga dalam Al-Qur’an cerita tentang Bani Israil diulang puluhan kali agar manusia dapat mengambil i’tibar dari kebusukan hati mereka. Entah kepala mereka itu tebuat dari apa sehingga begitu kerasnya bahkan Allah lagi-lagi ‘harus’ mengutus dua rasul sekaligus; Musa & Harun ‘alaihimasalam guna menghadapi Fir’aun serta membebaskan Bani Israil dari penindasannya, pun demikian kewibawaan mereka berdua, kekuatan, kecerdasan, serta mukjizat yang diberikan Allah kepada dua rasul-Nya itu tak mempan untuk menghancurkan kepala batu mereka, bagaimana mungkin orang yang setelah dengan mata-kepala menyaksikan laut terbelah, dengan sekujur tubuh serta kaki mereka berjalan melintasi belahan laut merah, lantas dengan entengnya mereka meminta nabi Musa untuk menciptakan sebuah tuhan sebagaimana tuhan kaum yang mereka temui ketika dalam perjalanan. Bukankah laut terbelah itu merupakan mukjizat paling nyata akan kemahakuasaan Allah? Bukankah mereka baru saja dilepaskan dari rezim Fir’aun dengan kelaliman dan kesewenangannya? Lalu apakah ini balasan dari nikmat Allah yang dianugerahkan kepada mereka?

Jika ditelisik rumpun Bani Israil maka diketahui bahwa nenek-moyang mereka berakar dari keturunan nabi Ya’qub ‘alaihissalam, karena kata ‘Israil’ itu sendiri adalah julukan bagi nabi Ya’qub, Bani Israil berarti ‘Anak-cucu Ya’qub’, hanya saja kini kata ‘Israil’ lebih familiar untuk menyebut sebuah bangsa Yahudi yang biadab itu ketimbang asal katanya sebagai julukan seorang nabi mulia. Dalam Al-Qur’an Allah telah menceritakan secara detail bagaimana anak-anak Ya’qub bermakar untuk membinasakan Yusuf ‘alaihissalam, mulai dari memaksa ayah mereka untuk mengizinkan mengajak Yusuf bermain, lalu melemparkannya ke dalam sumur kering, hingga membuat alibi palsu dengan koyakan baju berlumuran darah untuk menipu ayah mereka bahwa Yusuf telah dimakan oleh serigala. Insting pembunuh, penipu, pembohong dan peghasut telah tertanam dalam jiwa nenek moyang Bani Israil jauh sebelum kini anak-cucu mereka membantai umat Islam di Gaza, maka bukan tanpa alasan pula Allah merangkum cerita tersebut secara lengkap dalam sebuah surat Yusuf yang terdiri dari 111 ayat tidak lain agar manusia dapat mengambil pelajaran dari kisah mereka.

Haramnya membunuh jiwa manusia merupakan sebuah syari’at yang tak terhapuskan (ghairu mansukh) hingga akhir zaman sebagaimana Tauhid yang dibawa oleh semua utusan Allah. Oleh karenanya Islam meletakkan konsep qishas bagi orang yang melakukan kejahatan pembunuhan. Dengan konsep ini pula akan menggertak seluruh manusia bahwa membunuh bukanlah perkara remeh, membunuh adalah dosa besar sehingga semua pembunuh akan membayar mahal akan tindakannya itu, dia harus membayarnya di dunia dan akhirat sehingga tiada lagi seorang pun yang main-main dengan kehidupan dan jiwa manusia.

Dalam syari’at Muhammad saw. Allah telah menjelaskan di surat an-Nisa ayat 92-93 perihal dosa yang ditanggung oleh seorang pembunuh serta hukuman yang harus dibayar baik di dunia maupun di akhirat. Lalu Jumhur ulama telah sepakat dalam menafsirkan ayat di atas dan mengklasifikasikan jenis pembunuhan ke dalam tiga jenis; Pertama, qatlu-l-‘amdi (membunuh dengan sengaja) bisa dikarenakan marah dan dengki sebagaimana dilakukan Qabil terhadap Habil, atau dikarenakan ‘hobi’ sebagaimana yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Kedua, qatlu-l-khata’ (salah dalam membunuh), seperti orang yang memanah burung namun meleset dan mengenai orang lewat, atau seseorang yang menembak temannya dalam peperangan sedangkan ia mengira itu adalah musuh. Dan ketiga qatlu syibhu-l-‘amdi (pembunuhan yang ‘mirip’ dengan qatlu-l-‘amdi) seperti seorang ayah yang memukul anaknya dengan sapu ijuk untuk menyuruhnya shalat, namun tanpa disengaja anaknya meninggal. Disebut ‘syibhu’ (mirip) karena terdapat unsur kesengajaan dari sang ayah untuk memukul anaknya dengan sapu, tetapi tidak terdapat unsur kesengajaan untuk membunuh karena niatnya adalah mendidik anaknya yang meninggalkan shalat. Meskipun dari setiap bentuk pembunuhan di atas harus menanggung konsekuensinya masing-masing akan tetapi qatlu-l-‘amdi lah yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an sebagai dosa besar sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 93; “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”

Mungkin kekhawatiran malaikat kini telah terbukti bahwa manusia akan menumpahkan darah di muka bumi, toh demikian Allah Maha Mengetahui akan keputusan-Nya menurunkan Adam sebagai khalifatu-l-ardh. Meskipun di dunia terdapat sosok seperti Qabil dan Israel sebagai al-Qatil (sang pembunuh) namun di sana akan terdapat orang-orang yang akan menghentikan langkah dan mematahkan seluruh kebiadaban mereka. Israel sebagai sebuah bangsa ‘drakula’ mungkin kini tengah berpesta darah dan menikmati betul setiap erat daging manusia yang mereka bunuh, tapi setiap ada permulaan ada akhir, ada kejayaan ada keruntuhan, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)” (Ali Imran: 140).

Tinggal menunggu akhir zaman dimana semua Yahudi lari pontang-panting mencari perlindungan, tinggal menunggu waktu dimana semua bebatuan dan pepohonan selain gharqad berseru “Wahai Muslim, di belakangku terdapat seorang Yahudi, kemari dan bunuhlah ia!”

=============

Tidak ada komentar: